Sesuatu yang mengganjal di hati, kalau dibiarkan, tidak diungkapkan dengan seseorang atau dituliskan maka akan semakin menyesakkan dada.
Tulisan ini mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi bagi kawan-kawan semua para pembaca blog saya ini.
Suatu ketika saya membaca ringkasan Novel Laskar Pelangi. Wah, sebenarnya seharus novel seperti itu, beberapa puluh tahun lalu sudah ada yang menulis. Dengan harapan bisa menjadi bahan perenungan bagi para pembesar di negeri kita tercinta ini.
Sebuah pulau yang sangat jauh dari akses kota terdekat, di sebelah selatan pulau sumatera, satu-satunya pulau di kabupaten Lampung Barat. Namanya Pulau Pisang. Di pulau itu ada 6 desa, tetapi yang masih ada penghuni menetapnya hanya satu 3 desa lagi.
Di tahun 80-an pulau pisang sangat ramai. Dengan hasil cengkeh yang melimpah, kerapkali orang-orang jauh, seprti orang padang, para pedagang, bahkan kapal-kapal sering mampir meski hanya sekedar untuk menikmati pemandangan pulau.
Mercusuar yang oleh orang pulau disebut "Lentera" ada yang bertugas dari dephub, berikut anak-istri mereka. Orang padang kebanyakan berdagang Miso, atau pakaian jadi. Ada juga membuka jasa penjahitan pakaian. Karena memang daya tarik hasil pertaniannya, berupa cengkeh sangat melimpah.
Sampai-sampai orang-orang sekitar daerah Krui adalah daerah intan, karena terkenal dengan cengkeh yang melimpah.
Bayangkan tahun 80-an ketika nilai rupiah masih sangat tinggi, harga cengkeh setara dengan 1 gram emas. Makanya tidak heran orang-orang disana, kebanyakan punya simpanan emas batangan yang cukup banyak. Apalagi yang mempunyai kebun cengkeh yang ckup luas, sampai punya rumah di Bandar Lampung lebih dari satu.
Ada hikmah dari kisah pulau yang tertinggalkan itu. Itulah, kalau Allah mau mengambil nikmat dari suatu kaum / seseorang tidaklah sulit. Dengan sekejap, Dia bisa ambil. Bahkan tidak tersisa.
Saat-saat yang paling mengasyikkan ketika mengingat pulau pisang adalah dimana tahun 80-an itu nilai-nilai agama masih sangat kental. Tidak ada istilah Muli-Maranai (Gadis-Bujang) jalan berdua apalagi bergandengan tangan. Sangat tabu. Disetiap rumah selepas maghrib, alunan kalam Ilahi bersautan-sautan yang dibaca oleh para penghuni kampung. Surau atau musholla penuh sesak anak-anak yang mengaji pada guru gaji. Bahkan Muhammadiyah dan NU sampai mengirimkan guru-guru dengan digaji dari organisasi pusat kedua organisasi itu.
yang paling mengesankan, kalau musim lebaran tiba. Yang sekolah atau kuliah pasti pulang. Semakin semarak. Ada pertandingan sepakbola, bola volley, dsb. Begitu juga kalau bulan agustus, meski yang sekolah jauh tidak pada pulang, tetapi tetap ramai, dengan kegiatan olahraga. Seluruh penduduk desa, berkumpul di tanahlapang memperingati hari kebebasan tersebut. Sungguh patriotik.
Aha, saya jadi inget. Kebiasaan disana kalau 17-an semua sekolah upacaranya menjadi satu. Dan yang jadi Inpsektur Upacara para kepala desa bergiliran dari tahun ke tahun. Nach tahun berapa ya, yang pasti saya waktu itu kelas 5. Berarti tahun 86, kebagian membacakan Pembukaan UUD '45. Bayangin dari seluruh sekolah di pulau itu. Ada 1 SMA, 2 MTs, 3 SD, 1 TK. Smua murid ikut, begitu juga dengan guru. DItambah semua perangkat desa dari 6 desa.
Gimana gak deg-degan. Nah waktu itu sebenarnya udah dibelikan Celana seragam baru oleh Bak (Bapak). Tapi yang saya pakai adalah tetap celana yang lama, udah lusuh banget.
Bak gak tau, karena berangkatnya duluan. Nach, si Inspektur kebetulan Pak Balak (Pak De) Nazhul kepala desa Pasar Pulau Pisang yang terkenal agak killer diantara kepala desa yang lain.
Pas saya udah maju mau membacakan UUD'45. Karena waktu itu, para petugas harus maju ke depan semua, ketika melaksanakan tugas. Jadi tidak ditempatnya masing-masing. berhadapan langsung dengan sang Inspektur. Saya sudah siap persis didepannya. Tapi sama si Killer, dikasih kode dengan tangannya, yang menandakan bahwa posisi saya kurang lurus. Yang aslinya udah deg-degan, tambah ciut juga nyali. Dasar si Nazhul.....
Tapi, lambat laun suasana itu hilang. Apalagi diikuti oleh banyaknya penduduk pulau yang meninggalkan pulau karena tidak ada yang diharapkan lagi. Banyak yang pindah ke kota Krui, ada yang menjadi pedagang, ada yang sekedar bertukang bahkan ada yang jadi tukang becak. Padahal termasuk saru orang sana (karena pi'il lampung) menjadi tukang becak.
Pulau pisang...
Kapan ada kesempatan lagi sekedar menjenguk rumah peninggalan Mak-Bak ya....
Jadi kangen.....
Tulisan ini mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi bagi kawan-kawan semua para pembaca blog saya ini.
Suatu ketika saya membaca ringkasan Novel Laskar Pelangi. Wah, sebenarnya seharus novel seperti itu, beberapa puluh tahun lalu sudah ada yang menulis. Dengan harapan bisa menjadi bahan perenungan bagi para pembesar di negeri kita tercinta ini.
Sebuah pulau yang sangat jauh dari akses kota terdekat, di sebelah selatan pulau sumatera, satu-satunya pulau di kabupaten Lampung Barat. Namanya Pulau Pisang. Di pulau itu ada 6 desa, tetapi yang masih ada penghuni menetapnya hanya satu 3 desa lagi.
Di tahun 80-an pulau pisang sangat ramai. Dengan hasil cengkeh yang melimpah, kerapkali orang-orang jauh, seprti orang padang, para pedagang, bahkan kapal-kapal sering mampir meski hanya sekedar untuk menikmati pemandangan pulau.
Mercusuar yang oleh orang pulau disebut "Lentera" ada yang bertugas dari dephub, berikut anak-istri mereka. Orang padang kebanyakan berdagang Miso, atau pakaian jadi. Ada juga membuka jasa penjahitan pakaian. Karena memang daya tarik hasil pertaniannya, berupa cengkeh sangat melimpah.
Sampai-sampai orang-orang sekitar daerah Krui adalah daerah intan, karena terkenal dengan cengkeh yang melimpah.
Bayangkan tahun 80-an ketika nilai rupiah masih sangat tinggi, harga cengkeh setara dengan 1 gram emas. Makanya tidak heran orang-orang disana, kebanyakan punya simpanan emas batangan yang cukup banyak. Apalagi yang mempunyai kebun cengkeh yang ckup luas, sampai punya rumah di Bandar Lampung lebih dari satu.
Ada hikmah dari kisah pulau yang tertinggalkan itu. Itulah, kalau Allah mau mengambil nikmat dari suatu kaum / seseorang tidaklah sulit. Dengan sekejap, Dia bisa ambil. Bahkan tidak tersisa.
Saat-saat yang paling mengasyikkan ketika mengingat pulau pisang adalah dimana tahun 80-an itu nilai-nilai agama masih sangat kental. Tidak ada istilah Muli-Maranai (Gadis-Bujang) jalan berdua apalagi bergandengan tangan. Sangat tabu. Disetiap rumah selepas maghrib, alunan kalam Ilahi bersautan-sautan yang dibaca oleh para penghuni kampung. Surau atau musholla penuh sesak anak-anak yang mengaji pada guru gaji. Bahkan Muhammadiyah dan NU sampai mengirimkan guru-guru dengan digaji dari organisasi pusat kedua organisasi itu.
yang paling mengesankan, kalau musim lebaran tiba. Yang sekolah atau kuliah pasti pulang. Semakin semarak. Ada pertandingan sepakbola, bola volley, dsb. Begitu juga kalau bulan agustus, meski yang sekolah jauh tidak pada pulang, tetapi tetap ramai, dengan kegiatan olahraga. Seluruh penduduk desa, berkumpul di tanahlapang memperingati hari kebebasan tersebut. Sungguh patriotik.
Aha, saya jadi inget. Kebiasaan disana kalau 17-an semua sekolah upacaranya menjadi satu. Dan yang jadi Inpsektur Upacara para kepala desa bergiliran dari tahun ke tahun. Nach tahun berapa ya, yang pasti saya waktu itu kelas 5. Berarti tahun 86, kebagian membacakan Pembukaan UUD '45. Bayangin dari seluruh sekolah di pulau itu. Ada 1 SMA, 2 MTs, 3 SD, 1 TK. Smua murid ikut, begitu juga dengan guru. DItambah semua perangkat desa dari 6 desa.
Gimana gak deg-degan. Nah waktu itu sebenarnya udah dibelikan Celana seragam baru oleh Bak (Bapak). Tapi yang saya pakai adalah tetap celana yang lama, udah lusuh banget.
Bak gak tau, karena berangkatnya duluan. Nach, si Inspektur kebetulan Pak Balak (Pak De) Nazhul kepala desa Pasar Pulau Pisang yang terkenal agak killer diantara kepala desa yang lain.
Pas saya udah maju mau membacakan UUD'45. Karena waktu itu, para petugas harus maju ke depan semua, ketika melaksanakan tugas. Jadi tidak ditempatnya masing-masing. berhadapan langsung dengan sang Inspektur. Saya sudah siap persis didepannya. Tapi sama si Killer, dikasih kode dengan tangannya, yang menandakan bahwa posisi saya kurang lurus. Yang aslinya udah deg-degan, tambah ciut juga nyali. Dasar si Nazhul.....
Tapi, lambat laun suasana itu hilang. Apalagi diikuti oleh banyaknya penduduk pulau yang meninggalkan pulau karena tidak ada yang diharapkan lagi. Banyak yang pindah ke kota Krui, ada yang menjadi pedagang, ada yang sekedar bertukang bahkan ada yang jadi tukang becak. Padahal termasuk saru orang sana (karena pi'il lampung) menjadi tukang becak.
Pulau pisang...
Kapan ada kesempatan lagi sekedar menjenguk rumah peninggalan Mak-Bak ya....
Jadi kangen.....