Senin, 29 Desember 2008

HIDUP III : Sedang dimana kita.....

Ketika merenung sejenak, sesaat menghela nafas, lalu rangkai kembali jalan yang sudah terlalui dalam kembara, maka seharusnya, pertanyaan akhirnya adalah Sedang Dimana Kita sekarang ini.
Waktu begitu cepatnya berlalu, dan suatu saat perjalanan ini pasti akan berakhir. Akhir itu sendiri adalah awal dari Kehidupan yang sesungguhnya. Hari ini seharusnya bisa dijadikan momentum untuk "kebangkitan" kembali dari keterpurukan. Keterpurukan dari kekosongan ruh. Karena kekosongan ruh itu adalah Keterpurukan itu sendiri.
Padahal sekecil apapun kesalahan yang kita perbuat pasti akan dimintai pertanggunganjawaban oleh yang Maha Memiliki Hidup ini. Bahkan setiap helaan nafas sekalipun tidak luput dari pengawasanNya.

Akhir dari perjalanan didunia ini adalah keniscayaan. Akan tetapi titik perhentian itu adalah rahasia Allah. Seharusnya karena kita tidak tau dimana ujung jalan ini, mawas diri adalah jalan terbaik.
Kita terlalu sombong dengan apa yang sudah kita capai. Padahal seandainya Allah mau mengambil, kapanpun Dia bisa ambil.

Terkadang yang Allah beri berlebih, lupa bahwa semua itu adalah sesuatu yang fana. Merasa diri paling berpunya, hingga lupa pada hak-hak saudara-saudara yang ditakdirkan kurang beruntung.
Yang diberi Allah paras yang rupawan, terkadang kerupawanannya itu bukannya membuat dia menjadi orang pandai bersyukur dengan nikmat wajah rupawan yang sudah Allah anugerahkan padanya. Merasa paling ganteng/cantik sendiri. Sehingga merendahkan orang lain yang juga kurang beruntung karena diberi Allah wajah yang biasa-biasa saja.
Yang Allah kasih kemudahan dalam Ilmu pun demikian. Padahal, seperti kisah seorang Profesor, ketika dia menjelaskan hakikat ilmu. Dengan pemahaman yang sangat sederhana. Manusia dilahirkan tidak membawa apa-apa. Sehelai kainpun tidak. Apalagi segudang ilmu. Lebih lanjut sang profesor bercerita, ketika dia harus menyelesaikan Disertasinya. Bahwa sudah berbulan-bulan formula yang dia cari tidak kunjung ketemu. Bahkan sudah sampai pada titik nadir. Sang profesor sudah mulai putus-asa. Nach ditengah ke-hampirputus-annya itu, tiba-tiba ilham itu datang. Allah kasih kemudahan, dan uniknya itu sama sekali tidak prosedural sesuai dengan step-step percobaan yang sudah dia lakukan. Seperti datang begitu saja.
Itulah hakikat ilmu bagi manusia. Bahwa kita sebenarnya hanya menunggu kemurahan Allah SWT. Dengan usaha yang gigih, mudah-mudahan Allah akan mencurahkan sepersedikit dari Ilmu Allah yang Maha Luas itu.
Lalu apa yang bisa membuat kita sombong dengan ilmu yang sudah kita punya? Tidak ada sama sekali.
Karena hakikatnya semua Ilmu itu adalah milik Allah semata.

Terkadang ketika kita sedang dipuncak kesuksesan, kita tidak care dengan orang lain. Karena berpikir bahwa kita tidak butuh orang lain, apalagi secara strata sosial, ekonomi kita jauh diatas orang lain. Padahal siapa yang tau nasib kita esok hari.
Sebenarnya kisah-kisah masa lampau, baik itu yang termaktub dalam Qur'an maupun kisah peradaban kemanusiaan secara umum cukuplah bagi kita menjadi pelajaran (ibrah). Bagaimana misalnya Allah sampai ceritakan dalam satu surat khusus tentang kisah Yusuf as. Bagaimana seorang sangat rendah strata sosialnya Allah angkat derajadnya setinggi-tingginya.

Diriku, sahabat,
Tulisan ini adalah sekedar refleksi untuk diri sendiri. Tapi kalau bermanfaat untuk kawan-kawan semua, Alhamdulillah saya sangat bersyukur. Pengalaman-pengalaman bathin selama perantauan benar-benar membuat saya sangat bersyukur. Bersyukur karena Allah beri pengalaman-pengalaman itu dan mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran dalam hidup saya.

Suatu kali seorang ibu bercerita. Bahwa dia sudah beberapa minggu berhenti jualan pisang goreng. Padahal pelanggannya sudah cukup ramai. Dia mungkin sekedar ingin menumpahkan apa terpendam, meski agak cenderung agak berharap dengan manusia. Suaminya sakit ginjal dan harus berobat rutin. Pada saat dia cerita, suaminya sudah agak baikan tetapi sudah sangat kurus. Yang pasti, karena kena ginjal, jadi gak bisa membantu dia jualan lagi. Si ibu punya seorang teman akrab. Kebetulan akrabnya sudah sejak anaknya TK sampe sekarang anaknya sudah kelas 2 SMP. Karibnya itu punya anak yang satu sekolah dengan anaknya. Mulai dari TK sampe SMP. Jadi kebayanglah betapa sudah lamanya mereka kenal. Saling kunjung sudah biasa. Sang karib adalah istri seorang pejabat di Cabang Bank Swasta. Meski bukan kepala cabang, tapi bisa dibayangkan secara finansial pasti jauh lebih mampu. Si ibu meneruskan ceritanya, ketika dia kepentok karena uang modal sudah terkuras untuk biaya sang suami berobat, bahkan sudah tidak bisa jualan lagi. 2 buah sepeda motornya pun sudah ikut terjual. Dia mencoba mencari utangan ke karibnya tersebut.
Dengan alasan bla...bla.... hasilnya Nihil. padahal lanjut si ibu tadi, cuma mau pinjam 150 Ribu rupiah.
Tidak sampai disitu, sudah tidak dapat pinjaman, teman-teman sang karib tadi bisa tau semua kalau si ibu mau pinjam uang 150 rb ke beliau.

Apa pelajarannya? Itulah orang jaman sekarang. Kepedulian dengan orang lain sudah sampai pada titik terendah /nadir. Seakan-akan tidak butuh dengan orang lain lagi. Karena merasa apa yang dia miliki adalah miliknya sepenuhnya.

Ketok-e wis mulai ngelindur ceritane.
Udah dulu ach....


By Nit
##Ketika Sebagian Penduduk Bumi saut-sautan Ngorok-e :-) ##



Tidak ada komentar:

Posting Komentar