Jumat, 23 April 2010

Bunda tolong mandikan aku sekali saja, please...?

----------> (Mom Top Story)

Dewi adalah sahabat saya, ia adalah seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not to be the best?,'' begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Kampus, mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.

Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, "Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya ?" Dengan sigap Dewi menjawab, "Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna". "Everything is OK !, Don’t worry Everything is under control kok !" begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.

Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd. dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. "Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda". Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya dirumah apa bila ia merasa kesepian.

Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ''memahami'' orangtuanya.

Dengan Bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Dewi pada saya , Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya," Bunda aku ingin mandi sama bunda...please...please bunda", pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.

Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. "Bunda, mandikan aku !" Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja...?" kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.

Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, "Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di Ruang Emergency".

Dewi, ketika diberi tahu soal Bayu, sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang... terlambat sudah...Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya.. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.

Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata "Ini Bunda Nak...., Hari ini Bunda mandikan Bayu ya...sayang....! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak.." . Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil. . Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, "Inikan sudah takdir, ya kan..!" Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?". Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.

Sementara di sebelah kanannya, Suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.

Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, "Inilah konsekuensi sebuah pilihan!" lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa di duga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. "Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak...? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Sepanjang persahabatan kami, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.

Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris "Bangunlah Bayu sayaaangku....Bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak.....?!?" pintanya berulang-ulang, "Bunda mau mandikan kamu sayang.... Tolong Beri kesempatan Bunda sekali saja Nak.... Sekali ini saja, Bayu.. anakku...?" Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.

Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat manusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini...tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari pada hanya sekedar memandikan seorang anak.

Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.

copy paste dari kang Guntur

Senin, 19 April 2010

::MANIFESTO SENYAP::.

Mata air kehidupan itu sesungguhnya tengah kau teguk kawan.
Sepuas-puasnya kau telan melewati kerongkonganmu.

Iya berhenti manakala nafasmu pun telah tersendat untuk selamanya.
Mata air kehidupan itu adalah semangatmu untuk menghadapi hidup itu sendiri.
Selagi semangat untuk menghadapi hidup masih menggelora
maka dengan atau tanpa sadar kau telah mereguk mata air kehidupan itu.
Tidak ada gunanya berkeluhkesah tentang kegagalan, keterpurukan atau kekalahan.
Toh pada azalinya, semua kemenangan itu diwarnai oleh bumbu-bumbu kekalahan,
karena dengan kekalahan membuat kita mara untuk maju ke depan, berjuang.


Coba kita renungkan kisah kehidupan kita sejak kita dilahirkan.
Kita dilahirkan, menyapa dunia ini dengan satu suara seragam,
artinya kita semua pada asalnya adalah sama saja : bayi tak berdaya, lemah dan cengeng. Bahasa ungkapan hanya satu juga: tangis.
Dalam ketidakberdayaan itu, ada tangan2 penuh kasih yang menggapai2 kita,
memberikan cinta sepenuh hati.
Karena kita adalah harapan perjuangan berkesinambungan menantang kehidupan.
Karena kita adalah harapan kebanggaan masa yang akan datang dari orang2 penuh kasih itu.


Jumat, 16 April 2010

AKU HANYA INGIN BERKISAH YG INDAH-INDAH...(Part II : 4 Tante)

Aku tahu kau tidak sesabar Ayyub alayhissalam, kekasihku
dalam meniti jalan kehidupan ini
dan aku pun tidak menuntutmu selayaknya Ayyub kekasih Allah itu
karena akupun tidak mungkin menjadi Asiyah
selalu sabar meski harus mengorbankan nyawanya
demi sebuah keyakinan
tetapi...bukankah kisah2 itu Allah sampaikan lewat lisan Rosulullah
untuk dijadikan pelajaran bagi kita manusia2 dhoif akhir zaman

Aku mafhum kau tidaklah sekuat Yahya alayhissalam, tambatanku
dan aku juga tidak mengharuskanmu bak Yahya kekasih Allah itu
karena akupun tidak mungkin setegar dan sekuat fatimah azzahra
dalam mendampingimu merajut kehidupan ini
hanya...bukankah dua pondasi jauh lebih kuat
ketimbang hanya satu yang menopang

Aku sadar kau tidaklah setangguh Isa alayhissalam, kekasihku
dan akupun tidak mungkin mengharapkanmu selayaknya Isa kekasih Allah itu
karena akupun tidak bisa setangguh siti Hajjar dalam melawan
berbagai cobaan yang mendera
tapi aku ingin belajar menjadi layaknya karang yang dihantam ombak

Memulai cerita dengan kisah-kisah kecemerlangan
adalah keinginanku
bukan kisah2 yang mencekam perasaan
dalam hal apapun

Aku ingin berjalan disampingmu
menuju tujuan yang sama
yang lurus...tak berbelok
karena aku tidak ingin kita termasuk manusia2 yang tidak bersyukur
dihadapanNya

Aku ingin gubug kita adalah syurga
yang disanalah anak-anak kita bermain, tumbuh dalam kedamaian

Aku ingin naung rumah kita adalah cahayaNya
yang mendamaikan, menyejukkan....

Kamis, 15 April 2010

Puisiku adalah rinai sekelebat ujan
pada tandus yang menggurun
bait2 puisiku adalah jiwa yang terjerembab
pada rawa beronak
puisiku adalah tercabiknya nadi
karena kemenanganmu...!!!!

Rabu, 14 April 2010

pada kisah pangeran diponegoro aku diingatkan
para kapitalis berselingkuh dengan penguasa
membabibuta...mempertontonkan keangkuhan.....
lawan....harus dilawan.....

Risaukah kau pada dirimu sekarang ini?
menggelayutkan asa pada ranting koyak yg hampir saja rebah
Risaukah kau pada dirimu sekarang ini?
mengecam masa...sementara waktu itupun terus berlalu!!
seharusnya gundahlah pada keadaan dirimu saat ini
karena kau sebenarnya ada diujung zaman yang lebam....hampir saja melukanganga...!

Selasa, 13 April 2010

biar kutikam bala keangkuhan
sehingga meregang nyawa, kuputuskan nadi dengan dendam....
aku berkesumat pada tahta kemolekan rayu yang merayu....
Karena aku adalah pemenang pertarungan itu!!!!!!!!!
Seperti perkebunan Garudagmu
yang semilir kala tertiup angin laut........
seperti sedianya engkau masih berdiri diantara rimbunan dahan2nya
padahal itu belasan tahun lalu kita bercengkrama
aku ingin mengulanginya lagi.....

Bak,
lirihmu tatkala gulma mulai meninggi
seperti lirihku...saat ini...mengenangmu....dan mengenangmu...........

Asam garam masih kita kunyah
sejumputpun ia sangatlah berarti sebagai proses belajar......
belajar mempelajari rasa,
belajar mengasah matahati.....
belajar tentang formula rasa yang sempurna.....
*******kue kaleeeeeeee***********************